AIR
MATA MATA AIR MENJADI AIR MATA BENERAN
(Kisah Pilu
Kegiatan FLS2N Cabang Pantomim Tingkat Wilayah)
Oleh: Gun
Gun Nugraha, S.Sn
Minggu, 22 April 2015 Merupakan hari
yang tidak menyenangkan bagi saya. Kenapa tidak? Berbulan-bulan saya membimbing
anak-anak: memeras tenaga, pikiran, dan meluangkan banyak waktu menyiapkan
peserta untuk mengikuti kegiatan FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional)
tingkat SD. Harus kandas ditangan dewan juri pada tingkat wilayah, di Bungbulang. Yang nota bene bukan ahli di bidangnya.
Pada cabang seni yang hanya diikuti
2 (dua) peserta ini: kecamatan Cisewu dan Bungbulang. Hanya meloloskan peserta
yang qualitasnya jauh di bawah anak didik saya (why?). Bukan subjektif lho!
Tapi semua penonton, bahkan pembimbing peserta dari salahsatu SDN Bungbulang
itu pun mengakui. Bahwa peserta pantomim dari kecamatan Cisewu lebih unggul.
Dilihat dari blocking, movement, gesture, rias wajah, penjiwaan, fleksibelitas,
dan sebagainya.
Anak
SDN Cisewu IV tampil menghipnotis
Film dokumenter
tentang “Kerusakan Alam Kecamatan Cisewu”, menghiasi belakang panggung arena,
karena tempatnya ngampar diruang
kelas. Meski hanya setengah kelas, tentu saja kurang leluasa. Tapi tidak
menyurutkan semangat Iqbal dan Sendi (siswa SDN Cisewu IV) untuk tampil
ekspresif. Permainkan yang mengesankan. Suasana pertunjukan sedih dan mencekam
silih berganti. Musik tarawangsa, suling dan kecapi menebarkan dimensi mistis
repertoarnya. Ada beberapa adegan yang saya iringi dengan musik tradisi Sunda.
Maksudnya, supaya kita tidak lepas pada akar budaya. Teu poho ka purwadaksi. Begitupun
dengan lagu Iwan Fals berjudul “Isi
Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”, yang disisipkan dipenghujung cerita. Mampu
dieksplorasikan Sendi secara total.
Penulis sengaja memasukan sepenggal
lagu dari Bang Iwan, dengan durasi 1.16 menit (lebih jelas 1 menit, 16 detik), agar kontekstual begituh dengan keadaan hutan Indonesia sekarang. Selain itu, agar
bentuk pantomim yang berjudul, “Air Mata Mata Air” ini ada nuansa baru.Tidak
monoton. Kata juri sih! Pertunjukan
karya saya bukan Pantomim, tapi kabaret.
(Ah, sok tahu). Padahal saya hanya
menyisipkan sedikit idiomnya saja (1.16 menit). Gaya baru, karena seni itu
dinamis, seni itu bukan agama yang statis, dogmatis. Tapi seni harus terus
berkembang, berubah mengadavtasi jaman. Pantomim hanya isyarat saja tahun
sebelum masehi, ini tahun 2015 pak! . Meski Pantomim berasal dari Yunani,
setelah masuk ke Indonesia bisa jadi dikemas berbeda, mulai dari kostum Nyunda, dan bentuk yang lain digubah
(Diadavtasi, ceuk basa kerenna mah).
Agar kita tidak ortodoks, egois dengan pemahaman seni yang dangkal. Karena seniman itu harus kreatif—resah terhadap keberadaan sekarang yang
telah dicapainya, ia merupakan sosok manusia yang selalu siap sedia setiap saat
untuk bersaing. Dia akan selalu memunculkan gagasan gagasan baru, kreasi-kreasi
baru, pemikiran-pemikiran baru yang cemerlang. Jika ia tidak mampu berkreasi, maka
ia akan tenggelam. Dan seorang seniman diibaratkan para penjelajah ilmu, yang
dilakukan secara analogis seperti seorang pengembara (pinjam istilah Yasraf Amir
Piliang), yang terus berkelana tanpa henti, dan tanpa lelah dalam upaya
pencarian apa yang disebut sebagai cahaya kebenaran (truth). Bagi seniman,
kebenaran kesenian itu tidak mutlak, coy!.
Oleh karena itu, semoga bisa menjadi bahan acuan kita bersama, saat ini sedikit akan saya sampaikan, SEJARAH PANTOMIM. Supaya kita lebih
terang benderang (Tapi, maaf saya bukan bermaksud mapatahan endog ka hayam. Ceuk
paribasana mah, sok sanajan tai hayam butuh mah dipulung, karena
pengetahuan manusia itu tidak bisa diukur dari jabatan dan umurnya).
Apa Itu Pantomime ?
Seni Pertunjukan yang hanya dengan gerak-gerik melalui
bahasa tubuh bahkan cenderung bisu ini oleh Aristoteles disebut sebagai
pantomime (Richard Levin,1960). Untuk itu, perlu dimengerti bahwa seni
gerak-gerik yang tidak bersuara telah memiliki umur yang panjang. Menurut
Aristoteles, pantomim telah dikenali sejak zaman Mesir Kuno dan India.
Kemudian, dalam perkembangannya menyebar ke Yunani, sebagaimana ditulis
Aristoteles dalam Potics itu. Lebih lanjut Aristoteles menjelaskan bahwa teori
pantomim tersebut bermula dari temuan-temuan pada relif-relif candi dan
piramida. Dalam relief tadi dikisahkan adanya gambaran tentang seorang
laki-laki dan atau perempuan sedang melakukan gerakan yang diduga bukan tarian.
Hal tersebut semakin jelas sesudah adanya katagorisasi dari berbagai seni
pertunjukan yang dilakukan Aristoteles berdasarkan ciri-ciri bawaannya,
sehingga dapat dibedakan adanya sebutan tarian dan bahasa isyarat. Oleh karena
pantomim mengacu pada ciri dasar dari bahasa isyarat tadi maka jelaslah bahwa
seni pertunjukan pantomim memang sudah ada sejak lama.
Pengertian Pantomime
Istilah pantomime berasal dari bahasa Yunani, Pantomimus, yang artinya serba isyarat.
Berarti secara etimologis, pertunjukan pantomim yang dikenal sampai sekarang
itu adalah sebuah pertunjukan yang tidak menggunakan bahasa verbal. Pertunjukan
itu bahkan bisa sepenuhnya tanpa suara apa-apa. Jelasnya, pantomim adalah
pertunjukan bisu ( Bakdi Sumanto,1992:1). Pantomime adalah suatu bentuk seni
yang menggabungkan unsur musik, kelenturan tubuh dan ekspresi mimik dengan
kadar yang sama kuatnya yang diolah menjadi satu kesatuan yang saling menunjang
sehingga menghasilkan suatu cerita yang dapat dipahami oleh penontonnya. Atau
definisi lainnya adalah bahwa Pantomim adalah suatu seni untuk menciptakan
kembali dunia dengan gerak dan posisi tubuh. Pantomim mengadakan sesuatu yang
tidak ada menjadi ada ,seorang pemain pantomim akan bermain dengan
dirinya sendiri dan disekitarnya tidak ada apa-apa dan tidak ada siapa-siapa
kecuali penonton dan ia harus membuat penonton “melihat” apa yang tidak
terlihat dipanggung.
Karena itu, seorang pemain Pantomim dituntut untuk
memiliki kelenturan tubuh, kepercayaan diri dan daya imajinasi yang baik. Unsur-unsur
pembentuk sebuah cerita dalam Pantomime adalah: Mimik : Seorang pemain pantomime sangat mengandalkan ekspresi mimik
dalam menerangkan suatu keadaan seperti sedih, marah, kecewa, gembira, bingung,
dan lain-lain. Gerak : Gerak tubuh
bertugas menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, seperti memegang
gelas, memegang pisau, memegang kaca, berjalan, berlari, naik tangga, dan
sebaginya. Musik : Musik dalam hal
ini sangat mendukung guna menciptakan atmosfer situasi yang terjadi sehingga
penonton juga dapat larut dalam situasi itu seperti situasi seram, situasi
bahagia, situasi sedih, dan lainnya. Karena
berkait dengan musik maka seorang pemain pantomime juga harus mampu menguasai
tempo dalam sebuah irama sehingga ia dapat menyesuaikan gerak tubuhnya dengan
tempo lagu/irama yang saat itu terdengar. Hal ini sangat penting agar
penonton tidak merasakan kejanggalan karena apa yang dilihat tidak sesuai
dengan apa yang didengar. Contohnya, musik dalam keadaan sedih mungkin dipilih
yang temponya pelan, dalam keadaan tergesa-gesa mungkin temponya cepat, dan
banyak lagi.
Pantomim Baru dilombakan di Kabupaten
Garut
Memang
pantomime ini, satu Cabang seni yang baru 2 (dua) periode dipertandingkan di
Kabupaten Garut. Tapi, sebaiknya panitia lebih teliti lagi dalam penentuan tim
juri. Tentu saja juri yang bisa dipertanggungjawabkan dari sisi keilmuannya dari
bidang yang ia tilai (jangan asal-asalan). Hal lain, dalam buku panduan lomba
Panitia tidak menyampaikan secara terperinci kriteria atau ciri-ciri Pantomim
yang dipahami oleh panitia itu apa? Agar semua peserta, pembimbing, tim juri bisa satu kesepakatan (Kuring rek ngelehan, sok sanajan saupama rada teu puas oge). Karena
peristiwa itu, membuat saya terhenyak kaget,
henteu ari sampai terhempas dari kursi mah, Sebab, katanya ada salahsatu
juri yang mengatakan. Karya saya tidak termasuk kriteria Pantomim tapi Kabaret
(Oh, No!). Padahal 99% tubuh menjadi dominan digunakan sebagai media
menyampaikan kata-kata. Tubuh meruang,
menjadi hidup menyampaikan bahasa-bahasa non verbalistik, senyawa dengan imaji
yang dihadirkan kedua anak itu, sehingga penonton larut bersama dimensi
religius dibangunnya (niru gaya bahasa Pa Beni Johanes).
Peristiwa ini sudah saya
menyampaikan nota keberatan pada salahsatu juri, utusan dari Cisewu (karena
yang menilai itu ada tiga orang: perwakilan Cisewu, Bungbulang, dan Pakenjeng).
Namun, ibu (yang tidak perlu disebutkan namanya ini) pun merasa bingung.
Pasalnya, memang ia telah menilai dengan angka sangat baik pada peserta
pantomim Cisewu ini. Tapi, dimungkinkan kedua juri lain justru menurunkan nilai
ke batas terrendah. Angka 220 (?) untuk Cisewu dan 280 untuk Bungbulang.
Selisih angka yang jauh tanah ka langit ( Oh, My God!).
Pada awalnya boro mah geus atoh, pembukaan lomba diawali dengan kata-kata manis
dari sang juri : “Kita sepakati saja. Karena peserta Pantomim hanya ada dua,
apabila ada satu terpilih. Kita harus dukung bersama, karena perwakilan wilayah
da kabeh oge budak urang!” Sang Juri mengundi, dengan mengepalkan kertas undian
dikedua tangannya. “Pilih kanan atau kiri?” tanyanya kepada kami. Saya langsung
pilih tangan kanan (Posisi kanan dalam pertarungan dunia pewayangan adalah
simbol kemenangan). Ketika saya buka, eeiit! Ternyata undian pertama. Saya
bersiap-siap, nyalakan infocus dan lap top. Anak-anak tancap gas dan bermainlah
dengan sangat menakjubkan. Sebuah jalan cerita:
SUATU hari dibawah
terik matahari, Sendi bermain di hutan yang telah jarang ditumbuhi pohon-pohon.
Batang-batang pohon kering berserakan dimana-mana. Begitupun dengan hewan
–hewan telah langka dijumpai. Sendi meraba-raba sebatang pohon yang tergeletak
di samping tubuhnya. Tiba-tiba ia berubah menjadi seekor kera kelaparan. Arwah
kera yang dulu dibunuh para pembalak liar, menyurup kedalam tubuhnya. Ia bisa
kembali sadar ketika mendengar ringkikan kuda yang ditunggangi temannya, Iqbal.
Lalu menyodorkan sebuah karinding ( alat
musik tradisi sunda), bermainlah mereka. Selesai bermain karinding, Sendi
mengajak Iqbal bermain ke rumahnya. Rumah yang sangat kotor. Membuat lalat terpancing
menyerbu ruangan. Ketika mereka mengusir lalat, terdengar suara gemuruh dan
jeritan orang –orang yang tertimpa longsor. Keduanya melarikan diri dengan
mengendarai mobil, masuk ke hutan yang telah rusak. Baru saja tiba, mereka
diserang seekor harimau kelaparan. Segera mereka bersembunyi diatas sebuah
pohon. Malampun datang. Malam yang sangat menyeramkan. Sendi segera turun dari
pohon itu, diambilah sebuah seruling untuk menghibur dirinya. Namun, tiba-tiba
terdengar jeritan wanita minta tolong. Berlarilah mereka, dan nampaklah seorang
wanita tertindih sebatang pohon besar di pinggir sungai. Ditolonglah wanita
tersebut. Tapi baru saja diangkat, sekelompok pembalak liar menyerbu mereka
dengan geranat dan ribuan peluru. Matilah Iqbal terkena serpihan geranat. Tentu
saja Sendi merasa sedih, atas meninggalnya Iqbal. Ia bernyanyi mengungkapkan
isi hatinya. Tapi untung saja, semua itu hanya ada dalam mimpi mereka. Keduanya
segera bangun, bersiap-siap, karena waktu untuk sekolah telah tiba.
Dan pertunjukan diakhiri riuh tepuk tangan dan pujian dewan
juri: “ Sebuah pertunjukan yang menarik dan dikemas secara apik….!.”, Ujarnya.
Dan saya pun optimis, anak-anak akan lolos ke tingkat kabupaten. Giliran
peserta kedua atau terakhir, diakhiri dengan agak sepi tepuk tangan. Untuk
kritik membangun dari saya: Temponya statis, anak-anak kurang fleksibel, dan
lain-lain.
Menjelang detik-detik pengumuman
nilai, Juri menyampaikan sepatah dua
kata (henteu ari bari ngarahuh heula mah). “Sebuah pilihan yang membingungkan,
kedua peserta memiliki kelebihan: Peserta pertama, menyajikan cerita misteri
yang sulit ditebak dan menyampaikan pesan bagamaina hubungan manusia dengan
alam, peserta kedua berpesan arti dari sebuah persahabatan yang diambil dari
realitas….!” Tandasnya. Namun, apa yang terjadi? Setelah penantian yang panjang dengan hati
berdebar-debar dan jantung berdegup kencang berakhir dengan kekecewaan.
Nah, dari kisah nyata yang saya
tulis ini. Bukanlah bermaksud menyerang
salahsatu pihak. Tapi, ingin mengajak semua pembaca mengambil hikmah, kata Aa
Gym mah. Supaya kita bisa evaluasi
bersama yang ditujukan untuk Garut lebih baik, berfrestasi dan Bermartabat.
Bersih dari watak cueut ka nu hideung,
ponteng ka nu koneng teu nimbang kana kanyataan. Lamun batur alusmah,
kuring teu jadi masalah. Kuring oge boga
patokan nganilai alus jeung goreng. Dan seorang juri betul-betul
harus objektif.***
Cisewu,
23 April 2015 Pukul 21.35 WIB, Bari hate asa ngagendok sagede endog soang, rek ngadagorkeun
sirah bisi bencenur.
(Diolah dari berbagai sumber)
Gun Gun Nugraha, Aktivis
seni rakyat kecamatan Cisewu dan Lulusan Teater STSI Bandung 2010
Edisi
Selanjutnya: “TARI MERAJUT DUKA”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar